Di Indonesia, saat ini ada sekitar 40 juta usaha kecil dan usaha mikro (UKM), terutama yang berada di sektor informal. Sektor UKM itu mampu menampung sekitar 80 juta tenaga kerja atau sekitar 90 persen dari total angkatan kerja. Jika UKM tersebut dapat mengembangkan volume dan luas usahanya, angakatan kerja yang dapat ditampung diperkirakan akan lebih banyak.
Faktanya, sebagian besar UKM tidak berkembang, baik dari segi volume maupun perluasan usaha. Hal itu disebabkan bukan hanya masalah pasar, teknologi, dan permodalan yang selama ini diyakini banyak pihak, melainkan justru pada pola piker dan sikap dan pola tindak para pelaku UKM. Pelaku UKM bersama pemerintah dan dunia pendidikan mempengaruhi kegiatan dunia bisnis yang pada hakikatnya akan berpengaruh terhadap kemajuan perekonomian suatu wilayah.
Faktor yang menyebabkan UKM sering tidak bisa berkembang atau tetap kecil (stay small), berdasarkan pengamatan dan penelitian Inlead (2004) karena beberapa hal, antara lain :
- Tidak ada visi ke depan yang jelas.
- Kurang memiliki kecerdasan kreatif dan inovasi.
- Kurang adanya passion (tekun) terhadap bidang usahanya.
- Belum ada budaya kedisiplinan dalam usaha.
- Kurang memiliki kemampuan people skills yang diperlukan untuk mengelola SDM, pelanggan, maupun mitra usaha.
- Tidak memiliki tim yang kokoh.
- Tidak ada Akumulasi Aset.
- Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola fungsi manajemen bisnis.
Pengusaha sektor UKM diharapkan mampu mengenal dan mengembangkan kemampuan diri untuk mengembangkan kecerdasan entrepreneur melalui transformasi sikap, pola piker, dan perilaku menjadi wirausaha mandiri dan tangguh, menumbuhkan perilaku inovatif, serta mampu mengidentifikasi dan mengkaji berbagai peluang pengembangan usaha. Termasuk memahami, menguasai kiat keterampilan berbisnis, dan manajemen sebagai bekal dalam menyelenggarakan usahanya.
Sebenarnya, hal di atas merupakan kewajiban pemerintah dalam mendidik rakyat karena pendidikan adalah hak rakyat. Selain itu, pemeritahn juga harus mendukung serta membantu sarana dan prasarana usaha melalui peraturan-peraturan, bahkan proteksi (kalau perlu) untuk menjamin pengembangan UKM agar tetap menjadi milik rakyat. Saat ini, sektor UKM telah tergerus oleh kaum kapitalis sehingga rakyat Indonesia hanya menjadi pekerja bukan pengusaha.
Saat ini, kalau kita msuk ke hypermarket, sudah banyak ditemukan produk UKM yang telah dibungkus oleh logo hypermarket sehingga seolah-olah hypermarket tersebut yang memproduksi. Padahal, produksi itu dilakukan oleh rakyat kecil (UKM) Indonesia. Ironisnya lagi, justru telah merambah pada produk sembako, di mana sejak dahulu produk tersebut menjadi andalan UKM di Indonesia.
Sebenarnya, apabila pemerintah peduli, mengembangkan UKM bukanlah hal yang sulit. Pemerintah Orde Baru pernah memberikan proteksi yang berjalan efektif terhadap UKM. Sejumlah koperasi muncul dengan andalan berbagai jenis produk mulai dari kerajinan, distribusi, hingga simpan-pinjam. Harus diakui bahwa masyarakat UKM belum siap untuk bersaing dengan dengan para pengusaha asing yang datang ke Indonesia dengan modal yang kuat. Bahkan, apabila UKM menjadi pemasok, pembayaran dilakukan setelah 45 hari. Hal itu menjadi suatu bukti bahwa secara tidak langsung UKM telah membiayai pengusaha besar (hypermarket).
Saya sering bermimpi, suatu saat nanti UKM di Indonesia bersatu dan membuat suatu wadah untuk menjawab tantangan kapitalisme. Hal itu hanya bisa dilakukan apabila semangat nasionalisme sudah tertanam secara mendalam pada pengusaha Indonesia.
Misalnya, Korea Selatan. Pada 2006, Wallmart terpaksa menutup usahanya di bumi Korea Selatan (setelah 6 tahun) karena masyarakat Korea lebih memilih membeli di supermarket yang dimiliki pengusaha lokal (konsorsium UKM). Semoga, anak cucu kita nanti masih tetap hapal lagu Indonesia Raya.
*) Achsanul Qosasi, Direktur Sharia Consultant dan Executive Director Technopreneur Institute (Sumber Harian Indo Pos – Rabu,, 26 Juli 2006).